Ilmu hikmat Rasulullah merupakan warisan kenabian yang tidak hanya berwujud pada ajaran syariat, tetapi juga mencakup kebijaksanaan dalam menghadapi kehidupan manusia. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi” (HR. Abu Dawud), yang menunjukkan bahwa ilmu Rasulullah bukan sekadar hafalan hukum, melainkan hikmah yang mengarahkan umat menuju jalan kebenaran. Hikmah ini meliputi kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya, sehingga ajaran Islam tidak hanya dipahami secara tekstual, tetapi juga kontekstual dalam kehidupan sehari-hari (Al-Ghazali, 2000).
Amanat ilmu yang diwariskan Rasulullah merupakan kemuliaan yang sangat besar, sebab beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dalam hadisnya, Nabi bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad). Hal ini menandakan bahwa inti dari hikmat Rasulullah adalah membentuk pribadi yang berakhlak mulia, yang dengan sendirinya menjadi amanat bagi setiap Muslim untuk meneladani dan menyebarkannya. Dengan demikian, ilmu hikmat tidak berhenti pada pengetahuan, melainkan bertransformasi menjadi akhlak mulia yang diamalkan (Ibn Khaldun, 2011).
Lebih jauh, ilmu hikmat Rasulullah mengandung dimensi tasawuf, yaitu kesadaran ruhani akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan. Rasulullah ﷺ tidak hanya mengajarkan syariat dalam bentuk ritual, tetapi juga menghidupkan rasa ihsan, sebagaimana sabdanya, “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu” (HR. Muslim). Hikmat di sini menjadi cahaya yang membimbing manusia untuk senantiasa merasa diawasi dan menjaga amanat Allah. Hal ini menegaskan bahwa inti amanat mulia dari Rasulullah adalah menumbuhkan kesadaran spiritual umatnya.
Selain itu, amanat hikmat Rasulullah juga tampak pada kemampuan beliau memimpin masyarakat dengan keadilan dan kasih sayang. Sejarah membuktikan bahwa beliau mampu menyatukan suku-suku Arab yang sebelumnya terpecah belah, menjadi umat yang kokoh dalam ukhuwah. Hikmat kepemimpinan Rasulullah mengajarkan bahwa ilmu harus melahirkan kebijakan publik yang adil dan maslahat, sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an, “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya: 107). Dengan demikian, hikmat beliau menjadi amanat mulia yang relevan sepanjang zaman (Rahman, 1982).
Akhirnya, “Ilmu Hikmat Rasulullah Amanat Mulia” dapat dipahami sebagai sebuah panggilan bagi umat Islam untuk menjaga, mengamalkan, dan menyebarkan warisan kenabian. Hikmat yang beliau ajarkan tidak berhenti pada teori, melainkan harus mewujud dalam kehidupan sosial, politik, spiritual, dan budaya. Dengan meneladani ilmu hikmat tersebut, umat Islam dapat menjalankan amanat dengan penuh keikhlasan dan tanggung jawab, sehingga menjadi khalifah yang membawa kemuliaan di muka bumi. Inilah hakikat amanat yang diwariskan Rasulullah sebagai warisan abadi untuk seluruh umat manusia.
Referensi
Al-Ghazali. (2000). Ihya Ulumuddin. Kairo: Dar al-Hadith.
Ibn Khaldun. (2011). Muqaddimah Ibn Khaldun. Beirut: Dar al-Fikr.
Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
by. Tim MIR
0 Komentar