SIMPATI - KITAB SIMPUL MATI (TAUHID EMPAT)

 

Ketahuilah wahai saudara anak keturunanku, bahwa kewajiban yang harus kita tunaikan kepada Tuhan pertama adalah Makrifat lalu kemudian kedua adalah pengabdian kepada Tuhan dalam bantuk amal ibadah. Mengapa yang menjadi awal-awal kewajiban adalah makrifat, karena pengabdian kepada Tuhan itu tidak akan sempurna jika tidak makrifat terlebih dahulu. Itulah kenapa di dalam sejarah Islam, 13 tahun lamanya di Mekkah, Nabi kita Sayyiduna Muhammad SAW mendakwahkan akan pengenalan kepada Tuhan (Ma’rifatullah) buktinya banyak kalam para sahabat nabi yang mengarah kepada makrifat yaitu ungkapan Ali bin Abi Thalib “’Araftu Rabbī bi Rabbī” (Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku) yang dapat dilacak di al-Bayhaqi, al-Asma’ wa al-Sifat, 1/300; al-Ghazali, Ihya’; Ibn Hajar, Fath al-Bari. Juga dalam sejarahnya Nabi kita melaksanakan khalwat di Gua Hira sebagai landasan ajaran dalam tasawuf. Allah SWT berfirman: "Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan mohonlah ampunan bagi dosamu..." (QS. Muhammad: 19).

Syekh Abdurrauf as-Singkili dalam Umdatul Muhtajin menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan pentingnya ilmu ma’rifat sebagai dasar ibadah. Beliau menulis: "Awal segala kewajiban atas seorang hamba adalah mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan."

Rasulullah SAW juga menanamkan ma’rifatullah sebagai dasar pembinaan iman. Selama 13 tahun di Mekkah, dakwah beliau lebih menekankan kepada tauhid dan pengenalan kepada Allah sebelum kewajiban syariat yang rinci diturunkan. Dalam hadis Nabi disebutkan: "Barangsiapa mengenal dirinya, maka sungguh ia telah mengenal Tuhannya." (HR. Baihaqi).

Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dalam Ad-Durrun Nafis juga menegaskan bahwa ma’rifat kepada Allah menjadi tujuan utama dari penciptaan makhluk. Beliau menafsirkan hadis ini bahwa dengan mengenal hakikat kelemahan diri, seorang hamba akan memahami kebesaran Allah SWT. Para ulama sufi Nusantara banyak menekankan pentingnya ma’rifat. Syekh Yusuf al-Makassari dalam kitab Tajul Asrar menyatakan bahwa ma’rifat adalah jalan menuju kesempurnaan iman dan menjadi cahaya yang menerangi seluruh amal ibadah. Beliau menulis: "Seorang yang beribadah tanpa ma’rifat seperti orang yang berjalan di padang pasir tanpa petunjuk, ia akan tersesat dan tak sampai ke tujuan." Ma’rifatullah juga melahirkan rasa takut dan cinta yang seimbang kepada Allah. Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama." (QS. Fathir: 28).

 Kiai Haji Hasyim Asy’ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim menafsirkan ayat ini bahwa ulama yang dimaksud adalah mereka yang mengenal Allah dengan ma’rifat yang benar. Rasa takut yang lahir dari ma’rifat inilah yang membuat ibadah menjadi khusyuk dan penuh penghayatan. Selain itu, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dalam Ad-Durrun Nafis juga menjelaskan bahwa ma’rifatullah bukan sekadar mengenal nama dan sifat Allah secara teoritis, tetapi menyaksikan tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta dan di dalam diri. Dengan ma’rifat yang demikian, seorang hamba akan senantiasa merasa diawasi oleh Allah sehingga amal ibadahnya menjadi lebih tulus dan sempurna.

Apabila seorang hamba telah mengenal Allah dengan ma’rifat yang benar, maka pengabdian (‘Ubudiyah) kepada-Nya akan menjadi ringan dan penuh kebahagiaan. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman: "...Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, penglihatannya yang dengannya ia melihat..." (HR. Bukhari). 

Syekh Abdul Karim al-Bantani dalam Tanwirul Qulub menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan bahwa ma’rifat akan mengantarkan seorang hamba kepada maqam kedekatan dengan Allah, sehingga seluruh hidupnya berada dalam bimbingan-Nya.

Janganlah engkau mengira bahwa ibadah lahiriah semata sudah cukup untuk mencapai keridhaan Allah. Lihatlah bagaimana Nabi Muhammad SAW membina para sahabat dengan tauhid dan ma’rifat selama bertahun-tahun di Mekkah. Ulama sufi Indonesia telah mewariskan ajaran ini melalui pesantren dan majelis ilmu sebagaimana KH. Sahal Mahfudz dalam Thariqah al-Husna  menegaskan: "Ma’rifatullah adalah inti pendidikan ruhani yang harus mendasari seluruh amal ibadah umat Islam." Dengan ma’rifatullah, ibadah yang dilakukan seorang hamba akan diterima dan bernilai tinggi di sisi Allah SWT. Firman-Nya dalam QS. Adz-Dzariyat: 56 menjadi landasan utama: "Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku."

Ibnu Abbas menafsirkan kata liyabudun (beribadah) di sini dengan makna liya’rifun (supaya mereka mengenal-Ku). Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid  menyatakan bahwa ayat ini menegaskan tujuan penciptaan adalah ma’rifatullah yang kemudian melahirkan ibadah yang benar. Oleh karena itulah, kerana makrifat itu adalah kewajiban utama setiap insan maka marilah kita mulai dengan jalan yang elok untuk mencapainya yaitu dengan memahami tauhid yang disebut oleh para ulama dengan tauhid yang empat yaitu Tauhid al-Dzat, Tauhid al-Sifat, Tauhid al-Asma’, dan Tauhid al-Af‘al.

Memahami Tauhid al-Dzat, Tauhid al-Sifat, Tauhid al-Asma’, dan Tauhid al-Af‘al penting agar seorang hamba mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Syaikh Abd al-Ra’uf Singkel dalam Umdat al-Muhtajin menjelaskan bahwa seseorang tidak akan sampai kepada makrifat yang sahih kecuali jika ia mengenal keesaan Allah dari segi Dzat-Nya, Sifat-Nya, Nama-Nya, dan Af‘al-Nya. Dengan pemahaman ini, seorang hamba menyucikan Allah dari segala bentuk penyerupaan (tasybih) dan penafian (ta‘thil), serta meyakini bahwa segala yang ada adalah ciptaan dan di bawah kekuasaan-Nya semata.

Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Nashaih al-‘Ibad menegaskan bahwa keempat dimensi tauhid ini adalah dasar kesempurnaan iman. Dengan memahami Tauhid al-Dzat, seseorang meyakini Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah; dengan memahami Tauhid al-Sifat dan al-Asma’, ia menyucikan Allah dari kekurangan; dan dengan Tauhid al-Af‘al, ia menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah. Hasilnya, lahirlah ketenteraman hati, keikhlasan beramal, dan keyakinan penuh kepada qadha dan qadar Allah.

'Pendahuluan'  Kitab Simpul Mati

by. Tim MIR

Posting Komentar

0 Komentar